Jakarta, 2 Juni 2017
Pagi yang seperti biasa, seragam dan atribut seperti biasa serta tugas yang
sama. Namun pagi yang sendu tidaklah kecewa kepada matahari. Aku atau mereka tidak
kecewa terhadap hari kemarin. Ada beberapa luka yang pagi ini tiba-tiba saja hilang
tanpa kuminta dan sisanya menetap sebagai tanda.
Tersentak pandanganku terarah pada sepasang suami istri yang menuju
kearahku, sejatinya mereka sudah menarik perhatianku saat mereka mulai memasuki
lobby utama, suasana sepi hening dan kusuguhkan dengan senyum seraya bertanya
maksud kedatangannya yang masih terlalu
pagi untuk memesan kamar.
Aku melihatnya, “Rona merah pipi itu telah
hilang diterpa usia, tubuhnya tidak bisa menopang tanpa sanggahan. Perlahan melangkah
dengan langkah kecil serta tangis yang menandakan ketidaktahuannya.” Sang pria
dengan sabar menggandeng bidadari itu, mencoba menaiki anak tangga lalu berkata
sambil mengelus tangannya “Jangan takut sayang, ayo pelan-pelan jangan menangis,
kita sudah sampai ya, apa kamu mau makan? Mau sarapan apa hari ini?” Namun
wanita itu hanya merengek sesekali tanda ia merespon pembicaraan seru itu. Sang
pria hanya ingin bertanya beberapa hal tentang acara yang akan ia hadiri besok
kepadaku. Sesaat mereka hendak pergi aku katakan agar berhati-hati dijalan. “Terimakasih
Mbak, kami pamit pulang dulu ya, besok kami akan datang kembali setelah pukul 2
siang.” Tutur katanya halus, namun bukan itu... pancaran kasih sayang itu
terlihat alami pada sorot matanya. Mungkin bukan cinta yang membuat mereka
bertahan tapi mungkin kasih yang mengisi hari-harinya.
Pagi ini Tuhan telah memberikan kebahagiaan. Bahwa kebahagiaan bisa
direngkuh dari kesenangan orang lain, keikhlasannya. Karena setiap nafas
bidadari itu terdapat berkah bagi lelakinya.